Sunday, September 19, 2010

Kalau Miskin Dilarang Menangis

Baru aja nonton acara Kick Andy di Metro TV dengan judul Orang Miskin Dilarang Sakit. dan, lagi,saya benar2 beresiko kena stroke di usia muda. Kisah yang diangkat sebenarnya adalah hal tragis yang mengenaskannya sudah menjadi hal umum di tanah Indonesia Raya merdeka, merdeka ini. saat orang miskin jatuh sakit, dan mereka diperlakukan layaknya sampah. cerita di Kick Andy tadi, mengingatkan saya akan sebuah artikel pendek di koran Tempo yang benar2 berbekas buat saya.


 Membaca artikel di koran Tempo tertanggal Senin, 9 Agustus 2010 yang berjudul Cerita dari Sebilah Parang pada halaman C3, sukses membuat saya mati-matian menahan air mata di dalam kereta yang penuh sesak oleh orang. Cerita tentang seorang anak yang mengancam akan memenggal kepalanya sendiri karena melihat ibunya tidak juga mendapat perawatan yang memadai. Rumah Sakit berkilah dengan mengatakan perawatan ICU belum dibutuhkan dan kondisi si ibu tidak separah itu. Cara artikel ini mengakhiri ceritanya sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Rupanya kedekatan Manik dengan bundanya melebihi diagnosis dokter. Pada Sabtu malam lalu, Tarkem menghembuskan napas terakhirnya, hanya 24 jam setelah sang anak tersayang membelanya dengan sebilah parang. Bahkan saat saya mengetik paragraf itu saja sudah bisa membuat saya kembali berkaca-kaca.
            
Sungguh membuat hati menggelegak membaca sikap dari pihak Rumah Sakit Umum daerah Koja itu. Mereka, dan juga para pemimpin negeri ini harus tahu, bahwa orang miskin itu TIDAK akan pernah ke rumah sakit kalau memang mereka tidak parah-parah amat. Mereka juga sudah tahu dan paham bahwa rumah sakit hanyalah tempat bagi yang punya uang dan mereka hanya akan diperlakukan seperti sampah di sana. Saya saja yang bukan pemegang kartu GAKIN merasa takut ke rumah sakit. Lebih baik saya dikerok, panggil tukang urut, minum jamu, pasang koyo, tidur yang lama, berdoa yang banyak, atau tindakan alternatif lainnya daripada harus ke rumah sakit. Karena menurut saya, bila bisa sembuh tapi berujung tidak punya uang untuk bayar semesteran kuliah itu agak sia-sia jadinya. Jadi bisa dipastikan, ibunda Manik tersebut sudah berada dalam situasi yang kritis. Dan rumah sakit pun tahu. Saya yakin mereka tahu. Namun mereka merasa sayang bila ranjang ICU harus diisi oleh pemegang kartu GAKIN. We all know that very well.
           
Saya dan juga kebanyakan dari kita semua, termasuk pihak rumah sakit tersebut, pasti memiliki ibu. Tidak ada dari kita yang lahir dari batu atau mendadak jatuh dari langit. Ki Joko Bodo yang mistis saja pasti punya ibu. Semua tahu bagaimana besarnya keinginan dari seorang anak untuk bisa membahagiakan sosok perempuan yang telah bertaruh nyawa melahirkan kita ke dunia itu. Keinginan dan rasa cinta yang sama juga dimiliki oleh Manik, tidak peduli seberapa miskinnya dia ataupun berapa penghasilannya sehari. Fakta kalau ia salah satu pengguna kartu GAKIN juga tidak mengurangi rasa cintanya pada ibunya. Orang miskin mencintai ibunya dengan cara yang sama seperti orang kaya juga mencintai ibunya. Bahkan untuk kasus Manik ini, mereka cenderung LEBIH mencintai ibu mereka.  
            
Cerita akan Manik ini juga mengingatkan saya akan cerita seorang ayah luar biasa pencari keadilan yang berjalan selama kurang lebih tiga minggu dari Malang menuju Jakarta, untuk menuntut keadilan akan kasus tabrak lari yang menewaskan anak kesayangannya 15 tahun yang lalu. Berusaha menemui kaisar negeri ini hanya untuk sekedar mengadu, meminta perwujudan akan UU negeri ini yang menjamin hak semua warga negaranya tanpa kecuali. Berusaha membuktikan bahwa reformasi memang sudah diterapkan di negeri ini dan semua orang sama di mata hukum. Di mata hukum mungkin sama namun di mata polisi, atau jaksa, atau hakim lain lagi ceritanya.
           
Kaisar negeri ini terlalu sibuk untuk menanggapi keluhan dan penderitaan rakyat kecilnya. Sama seperti ia juga tidak punya waktu untuk bertemu balita korban ledakan elpiji, janda pahlawan yang dipidanakan, atau keluarga korban pelanggaran HAM yang setiap Kamis rutin berdiri di depan istana. Saya jadi ingat satu dialog dari serial drama Korea yang mengangkat dari sejarah ratu Korea pertama, the Great Queen Seon Dok  yang berbunyi: Pemimpin yang tidak sempat mendengarkan keluhan rakyatnya berarti tidak akan sempat untuk memimpin. Betul sekali itu.
            
Kembali ke kisah ayah penuntut keadilan tadi. Saya memang belum punya anak tapi melihat dari cara kedua orang tua saya menyayangi saya, saya sudah bisa memiliki gambaran sebesar apa rasa sayang orang tua kepada anaknya. Jangankan kepada anak, kucing peliharaan saya mati saja saya selama dua minggu tidak bisa bangun dari kasur. Tidak terbayangkan perasaan ayah ini yang mendapati anaknya tewas jadi korban tabrak lari yang dilakukan oleh petugas polisi (saya tidak akan pakai istilah oknum. Menurut saya, di Indonesia itu yang jadi oknum justru polisi yang baik dan jujur karena mereka sedikit. Polisi yang bahlul macam penabrak ini justru adalah cerminan polisi mayoritas). Ditinggal begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban seolah-olah yang ditabrak adalah kucing. Ironisnya, kalau kucing yang ditabrak, si polisi ini mungkin akan turun, membalutnya dengan kain putih dan menguburkannya di tepi jalan. Takut kualat. Mungkin, siapa tahu, ia lebih takut kualat daripada takut dosa (geleng-geleng kepala). Mengutip tweet-an teman saya: something inside me dies knowing about this proud father.
            
Akan tetapi, hal yang sama nampaknya tidak dirasakan oleh para pemimpin negeri ini. Berita akan ayah yang bangga ini juga samar-samar menghilang. Sang kaisar nampak tidak tergerak sedikitpun, juga tidak berkomentar. Nampak lucu bila membandingkan ia masih sempat berkomentar soal kasus video porno. Padahal ia juga punya anak, dua orang. Kedua anaknya sudah hebat-hebat sekarang. Satu sudah berkeluarga dan kuliah di Harvard. Satu sudah nampak mulai menabung mungkin untuk pemilu 2029. Saya yakin, baik sang kaisar ataupun ratunya pasti sama-sama mencintai kedua anak mereka tersebut dengan sungguh-sungguh. Sama seperti sosok ayah yang berjalan dari Malang tersebut. Apa para pemimpin negeri ini merasa karena pendidikan rakyatnya tidak sampai SMA maka mereka juga bodoh dalam merasakan cinta kasih untuk anaknya? Saya bahkan tidak yakin bila ada dari pemimpin negeri ini yang mau berjalan kaki dari Malang ke Jakarta hanya untuk menuntut keadilan bagi anaknya.
           
Mungkin para pemimpin, polisi, atau petugas rumah sakit berpikir kalau orang miskin kehilangan keluarga mereka itu tidak akan sedih sedih amat. Mungkin mereka berpikir kalau orang miskin itu menangisnya tidak akan terlalu kencang dan tidak akan banyak air mata yang keluar.
            
Saya ingat akan satu episode dari acara The Oprah Winfrey Show yang membahas mengenai asuransi kesehatan. Saat itu tidak semua warga negara AS memiliki asuransi kesehatan, terutama kelas pekerja dengan ekonomi rendah. Seorang ahli kesehatan dari Jerman mengatakan hal yang membuat saya tercenung: Apakah kita benar-benar percaya bahwa anak dari seorang penjaga sekolah sama berharganya seperti anak dari seorang bankir kaya?
            
Ya, itu pertanyaan yang harus diajukan kepada pemimpin negeri ini. Apa mereka sungguh-sungguh percaya bahwa nyawa dari anak pedagang kue di stasiun sama pentingnya seperti nyawa dari anak menteri? Apa mereka percaya bahwa nyawa ibu dari seorang kuli pasar sama berharganya seperti nyawa ibu dari seorang presiden? Entah sejak kapan manusia pemimpin negeri ini mulai mendefinisikan harga dari nyawa manusia melalui jumlah materi yang dimiliki. Padahal bila semua atribut kekayaan, kedudukan, status sosial, atau kekuasaan itu dilucuti satu per satu, kita semua sebetulnya sama; mamalia berpikir yang ingin hidup bahagia.
            
Saya hanya bisa berpikir, mungkin pikiran ini yang juga sempat melintas di pikiran ayah yang kehilangan anaknya tersebut. Bisa saja anaknya juga kelak masuk Harvard juga, atau bahkan Oxford, who knows? Anaknya kemudian akan menikah dan memberikannya cucu laki-laki atau mungkin juga perempuan yang gemuk dan lucu. Melihat anaknya sukses dan membalas budi kedua orang tuanya. Manik juga mungkin harusnya masih bisa mengusahakan ibunya naik haji kelak, atau minimal sekedar membelikan baju baru buat Lebaran tahun ini. Mengenalkan calon istrinya nanti dan meminta ibunya mencarikan nama untuk anaknya.
           
Tapi semua itu sudah tidak mungkin lagi bagi kedua orang yang direndahkan hanya karena materi yang dimilikinya tidak banyak ini. Semua pemimpin negeri kita terlalu sibuk mengurus entah apa sehingga tidak lagi bisa melihat mereka sebagai manusia yang juga menangis dan meratap bila ditinggal mati ibu, ayah, anak, kakak, adik, istri, suami, ipar, menantu, atau cucu. Di saat seperti inilah konsep akan Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Adil benar-benar saya harapkan ada. Dan petugas rumah sakit, polisi, juga para pemimpin negeri ini harus ingat, bahwa Tuhan mencintai semua manusia itu sama, tidak melihat harta atau kedudukan. Klise memang saya akui tapi keklisean itu tidak mengurangi kebenaran pernyataan tersebut. Tuhan tersakiti bila manusia yang dicintaiNya itu diperlakukan layaknya sampah oleh manusia juga. Polisi dan petugas rumah sakit boleh dengan kekuasaan mereka ‘melarang’ orang miskin untuk menangis dan merasa marah karena orang yang mereka cintai direnggut paksa tapi mereka jelas tidak bisa melarang amarah Tuhan. Amin.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home