Saturday, September 25, 2010

Omong Doang Lag

i

                Saya adalah orang yang entah kenapa sangat suka untuk menulis. Saya sadar saya udah suka nulis dari saya masih SD, dari mulai menulis buku harian (yang isinya bener2 bisa bikin saya merinding kalo saya baca sekarang. Kids are really cruel). Saya sempet suka nulis cerita beralur, cerpen atau novel. Tapi biasanya saya cepet bosen, jadi banyak cerita yang saya tinggal gitu aja. kesukaan saya buat nulis juga bisa dilihat dari notes2 saya di FBi, mulai dari yang sampah gak penting sampe ke yang merupakan pemikiran berat hasil ngegerumpel di hati.
                Hal yang menarik adalah, ada beberapa orang yang menanggapi tulisan saya yang merupakan hasil dari pemikiran-berat-hasil-ngegerumpel-di-hati itu sebagai sebuah bentuk omong doang. Paling gampang kalo misalnya saya nulisin soal pandangan saya akan situasi negara ini. nggak cuma di notes, di blog juga ada, walopun emang gak banyak. Paling satu atau dua. Lumayan sering saya denger kalimat tanggapan: terus lo ngapain? Jangan cuma omong doang! (dan saya ngebayanginnya tu orang sambil ngacungin belati ke leher saya).
                Saya sih nggak kesinggung, karena saya menikmati setiap proses orang mengemukakan pendapat. Saya gak suka orang lain ngehalang-halangin saya untuk mengungkapkan pendapat, jadi saya gak akan melakukan hal itu ke orang lain. Cuma, kalimat seru itu bikin saya mikir: emangnya kalo nulis itu cuma omong doang?
                Dari kalimat galak tersebut , saya nangkep kesan kalo tulisan itu bukan sebuah aksi. kalo tulisan itu sangat tidak penting dan mungkin harusnya saya, kalo saya bener2 peduli dengan hal yang saya omongin, itu harusnya terlibat dalam hal yang lebih banyak lagi pergerakkan badannya daripada hanya sekedar ngetik di laptop dari rumah. I appreciate every opinion, really. No offense from me. in fact, it makes me thinking. Bukannya berusaha mencari mana pendapat yang paling benar, tapi saya memiliki pendapat lain.
                Kalau tulisan itu sebegitu tidak penting dan berharganya, kenapa juga Wiji Thukul bisa hilang sampai sekarang? Padahal yang ia lakukan hanya menulis dengan kalimat memorable yang masih sering dikutip: hanya ada satu kata; Lawan! Padahal kan, itu hanya kata2 yang tertulis dalam kertas. Ia tidak pernah datang heboh2 ngajak perang atau memimpin pasukan gerilya untuk melawan Soeharto dulu. Atau kenapa pemerintah dulu sampai repot2 menjarain Pramoedya A. Toer? Dia cuma nulis novel aja gitu. Fiksi pula! Sama kayak Da Vinci Code atau Satanic Verses yang sampe segitu dihebohinnya bahkan penulisnya diancam dibunuh. Mereka hanya menulis, mereka bukan pemimpin sekte atau mengajak orang untuk melakukan pemberontakkan. Kenapa banyak pemerintahan negara seperti zaman  Soeharto dulu atau yang sekarang macam Malaysia, Iran, Myanmar, Korea Utara, dan banyak lagi masih begitu ketat memberlakukan sensor berita? Kalau tulisan itu sebegitu omong doangnya, why make a fuss about it?
                Atau kasus terbaru yang menimpa majalah Tempo. Mereka hanya menuliskan tentang rekening gendut para perwira polisi (atau yang dulu kemungkinan adanya peran Tommy Winata di kasus kebakaran Tanah Abang). Mereka bahkan bukan polisi yang berwenang nangkep dan menjarain (abis dipublikasiin aja nggak ada polisi yang ditangkep. Justru Temponya yang dituntut). Mereka hanya menulis dan menyebarkannya. Logikanya, dengan hanya kemampuan menulis dan publikasi yang mereka miliki, dengan mengacu pada pendapat kalau menulis itu omong doang, apa yang ditakutin?
                Karena menurut saya, aksi itu bisa dimulai dari tulisan. Adanya negara2 sosialis-komunis dimulai dari tulisan2 Marx. Marx nggak perlu mencalonkan dirinya jadi presiden untuk bisa membuat perubahan sehebat itu pada kaum buruh dan pekerja yang dibelanya. Ia menuliskan semua pikirannya itu dan dibaca oleh banyak orang yang merasa related dengan pemikirannya. Aksi historis Gandhi juga dimulai dari membaca ajaran tanpa kekerasan dari alkitab waktu dia di kereta menuju Afrika Selatan. Bahkan, Soe Hok Gie lebih dikenal melalui tulisan2nya daripada aksi2 demonstrasinya.
                Saya menulis merupakan aksi yang paling bisa saya buat. Mungkin kecil memang dan tidak memiliki efek instan seperti yang dihasilkan mungkin bila saya mungkin nari telanjang di depan istana negara (instan masuk penjara dan masa depan instan hancur). Setiap orang memiliki cara masing-masing buat menunjukkan kepeduliannya pada suatu hal, dan cara saya, yang saya rasa I do it my best ya dengan menulis.
                Dan siapa tahu, siapa tahu aja, tulisan2 saya nantinya ini bisa menjadi kekuatan buat saya untuk melakukan hal yang lainnya lagi atau lebih indahnya lagi, menjadi kekuatan buat orang lain J

0 Comments:

Post a Comment

<< Home